Kamis, 28 Januari 2010

Jalur Maut Pendaki di Berastagi dan Sekitarnya


09:20 | Monday, 15 June 2009



Rute pendakian di Gunung Barus yang menyesatkan 13 mahasiswa IAIN-Sumut, akhir pekan lalu, tak begitu populer. Sudah lama rute itu ditinggalkan pencinta gunung. Rute ini relatif tak berbahaya dibanding rute pendakian yang lain di Tanah Karo, yang banyak mengambil korban jiwa bule. Seperti apa?

Hobi menjelajah hutan merupakan wisata yang menyenangkan. Sambil menikmati udara segar, beragam tumbuhan di hutan dan fauna mulai dari primata sampai binatang besar, bisa ditemukan. Ada yang menganggap, menjelajah hutan adalah tantangan besar dan berisiko. Tetapi, adapula yang menilai-apalagi sudah terbiasa menjelajah hutan-merasa tantangannya tidak terlalu besar.

Peristiwa tersesatnya 13 Mahasiswa Pecinta Alam Semesta (Mapasta) Institut Agama Islan Negeri (IAIN) Sumut akhir pekan lalu di kawasan Puncak Bohong, Gunung Barus, memberi gambaran, alam liar bukan hal yang mudah ditaklukkan. Sekali pun bagi para penjelajah alam yang profesional.

Ismail (45), pemandu wisata di Kabupaten Karo menceritakan kondisi dan kerawanan rute jelajah hutan, pegunungan, dan gunung di kabupaten di Bukit Barisan itu. Pria yang berprofesi sebagai pemandu wisata 20 tahun terakhir mengatakan Gunung Barus yang tingginya 1.905 meter diatas permukaan laut (m dpl), sejak pertengahan tahun 90-an telah jarang dilalui oleh kelompok wisatawan.

Terutama rute rawan di sekitar dataran Puncak Bohong. Puncak ini memiliki panorama indah serta kaya ragam flora dan fauna. “Areal yang datar cukup luas, jumlah kayu tidak banyak. Di sana kebanyakan ditumbuhi semak, jadi kalau sudah lama tidak dilalui kemungkinan jalan setapak yang ada menjadi tertutup dengan sendirinya. Yang kita khawatirkan di atas sana adalah banyak jalan kecil atau yang sering disebut jalan tikus yang bukan rute tracking,” paparnya.

Munculnya jalan baru yang menyesatkan pendaki, kata Ismail, kemungkinan besar adalah jalan setapak yang muncul dibuat oleh pencari rotan atau jalan atau lintasan babi hutan. Dikatakannya, jalan babi hutan-lah yang paling banyak di sekitar lokasi Puncak Bingung.
Beberapa rute jalan tikus yang ada di atas, memang harus dapat dikuasai secara tepat. Karena menurutnya, jalur resmi (bukan yang dibuat pencari rotan/hewan) di sekitar lokasi memang ada beberapa rute, baik menuju ke Kabupaten Deliserdang atau ke Kabupaten Karo, seperti Bukum, Penen, Tongkoh dan Serdang.

Di Puncak Bohong atau kawasan lainnya di Gunun Barus, kata Ismail, belum ada petunjuk yang dibuat untuk memudahkan perjalanan. “Tidak adanya tanda panduan membuat pemula yang tanpa instruktur (guide) menjadi tersesat,” katanya.

Ismail juga mendapat cerita, di di hutan Gunung Barus masih banyak binatang buas. Namun, selama dirinya memandu turis mancanegara menjelajah hutan belum pernah bertemu binatang buas seperti Harimau Sumatera. Ia mengingatkan, agar setiap pendaki apalagi pemula selalu didampingi instruktur dan membawa bekal yang cukup.

Ayah tiga anak menyatakan, hingga saat ini pendakian (traking) di Gunung Sibayak (2.094 m dpl) yang paling banyak menelan korban. Menurutnya, rute melalui desa Jaranguda (rute Sibayak I) dan jalur Sibayak II dari Desa Semangat Gunung (Raja Berneh) tidak sulit dilalui. “Kalau jalan dari Sibayak I sudah diaspal hingga kawasan Batu Kapur (sekitar 30 menit perjalanan menuju puncak). Sedangkan dari Sibayak II sudah dibuatkan tangga hampir mencapai puncak,” ujar dr Smiley-sapaan akrab Ismail di kalangan bule.

Menurut dr Smiley, apabila terus mengikuti kedua jalan tersebut kemungkinan kesasar sangat minim. Lain halnya dengan rute 54 yang lebih menantang dan berbahaya. Jalur tersebut berada di sekitar panorama Penatapan desa Doulu (lokasi penjual jagung/pintu angin). Jalur 54 yang jarak tempuhnya lebih singkat dibandingkan dua rute lainnya menuju Gunung Sibayak (sekitar 2 jam perjalanan) memang lebih terjal dan jarang dilalui.

Tidak jauh berbeda dengan jalan di atas Puncak Bohong, rute 54 juga sering tertutup oleh semak karena orang yang melalui jalan itu hanya orang tertentu (pecinta alam). “Jika pemandu wisata dan pecinta alam tidak melintasi jalan itu beberapa bulan, maka akan tertutup dengan sendirinya. Selain itu, lintasan yang dibuat oleh pencari rotan dan bambu (perajin keranjang) kerap membuat bingung pendaki untuk memilih jalan yang harus dilalui,” katanya lagi.

Tidak hanya menuju Gunung Sibayak, tetapi ketika tiba di puncak-lah yang biasanya orang yang tanpa pemandu, pada umumnya turis mancanegara tersesat untuk kembali ke Berastagi. Karena, kata pria gimbal ini, kebanyakan wisatawan luar negeri terlalu percaya diri berpergian hanya bermodalkan peta dan buku petunjuk tanpa guide. Padahal, kata Ismail, di puncak gunung itu banyak jalan turun, misalnya menuju Berastagi, Desa Semangat Gunung, Doulu, Sibolangit (Bumi Perkemahan Pramuka), dan Bandar Baru.

Pria paruh baya ini mengatakan, walau Gunung Sinabung (2.475 m dpl) merupakan gunung tertinggi di Tanah Karo tetapi jalur pendakiannya lebih mudah dibading rute lain. “Kalau kita mendaki dari Lau Kawar-puncak Sinabung hanya ada satu jalan. Jika terus mengikuti rute yang ada sepertinya sulit tersasar. Memang sekitar tahun 1996 ada wisatawan Korea yang kesasar, itupun karena pulang terlalu malam, tidak lagi dapat melihat jalan. Tetapi besoknya langsung ketemu,” terang Ismail.

Tapi lain hanya kalau mendaki Sinabung dari desa Singgarang-garang atau desa Mardinding. Karena menurutnya, jalur dari kedua desa itu jarang dilalui oleh pendaki. Hanya digunakan warga setempat. Satu lagi rute yang biasa dilalui guide dengan wisatawan mancanegara adalah rute traking Kuta Rayat-Marike yang biasanya ditempuh dengan waktu tiga hari (jalan santai).

“Namun jangan pernah melalui rute ini tanpa pemandu, karena melalui hutan belantara. Setidaknya jika ingin melintasi jalur Kuta Rayat (desa dekat Danau Lau Kawar) Kabupaten Karo-Marike (menuju Bukit Lawang Kab Langkat), pergilah dengan orang sudah paham benar jalannya,” tegasnya. Menurutnya, beberapa tahun silam pemandu wisata dan wisatawan sering bertemu dengan pecinta alam di jalur ini. Kami dan bule menuju Bukit Lawang, sementara mereka menuju Lau Kawar,” katanya.

Namun menurut pemandu wisata yang bermukim di Jalan Perwira Gg Surya Indah Berastagi ini, objek wisata yang pernah ia jelajahi di beberapa tempat Indonesia tidak jauh berbeda dari persoalan alam gaib. Menurutnya, hal mistis masih tetap ada dan kuat di seluruh objek wisata di Tanah Air. Hanya saja, katanya, tidak boleh sembarangan (bersikap sopan). Ia selalu menyarankan bagi petualang pemula untuk mengikuti jalur yang ada.

Staf Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kab Karo, Morison Sitepu saat ditemui di Tourist Information Berastagi, Minggu (14/6) mengatakan sudah banyak wisatawan asing tersesat atau hilang di gunung-gunung Karo. Tahun 1928, Van Justitie (Belanda) ditemukan setelah tiga hari di Gunung Sibayak. Tahun 1953, dokter dan perawat asal Israel hilang dan belum ditemukan hingga kini.

Kasus wisatawan hilang terus berlanjut. Tahun 1983, dua orang Profesor (USA-nama tak diketahui) belum ditemukan hingga saat ini. Berselang tiga tahun (1986), John Sheldon Sanders (USA) tersesat dan ditemukan setelah lima hari. Tahun 1989, Steven Eric Herbert (Swedia) ditemukan tewas di jurang. Tahun 1993, Paijs J.A.Hubertus (Belanda) ditemukan meninggal setelah tujuh bulan kemudian. Tahun 1995, Dunkel Wolfgang (Austria) ditemukan meninggal dua tahun kemudian.

Tahun 1997, Christina Eichorn dan Hans Jorgeichorn-kakak beradik (Jerman) belum ditemukan hingga saat ini. Di tahun yang sama, Uwe Fischer, A Strauber (suami/istri) dan dua anaknya, Anne dan Finn (Jerman) ditemukan hidup setelah tiga hari kesasar di puncak Gunung Sibayak.

Tahun 2007 lalu, Franz Resch (Austria) hilang delapan hari, ditemukan hidup di Desa Dokan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deliserdang.
Tahun yang sama, empat anggota Red Cross (palang merah) yang bertugas di Nangroe Aceh Darusalam (NAD), Charles, Methelde, Oliver, dan Sabastian (Francis) ditemukan selamat sehari kemudian. Sedangkan di Gunung Sinabung, Simon Bleeg (Denmark) jatuh di sekitar kawah gunung tahun 1995 dan ditemukan meninggal. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar